RAKYAT YANG HARUS MENUNTUT PEMUTIHAN HUTANG
Pemerintahan Habibie tidak mungkin berani menolak bayar hutang. Oposisi demokratik, seperti Megawati, Dr. Amien Rais dan Dr. Muchtar Pakpahan dalam hal ini sama saja.
Rakyat "tani, buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, pengusaha kecil dan menengah, profesional, dll." adalah pihak yang berkepentingan dengan pemutihan hutang luar negeri. Mereka sama sekali tidak diuntungkan oleh adanya hutang luar negeri tersebut, namun sebaliknya mereka adalah pihak yang paling menderita akibatnya. Bahkan sebenarnya, pemerintah dan pengusaha yang mempunyai hutang luar negeri pun diuntungkan dengan pemutihan hutang luar negeri, karena mereka akan bebas dari kewajiban membayar hutang. Namun, pemerintah tidak akan mau melakukan itu, karena mereka telah menggantungkan diri kepada pinjaman luar negeri, terutama dari IMF dan Bank Dunia. Mereka tidak punya "ilmu" lain, kecuali ilmu "gali lubang tutup lubang."
Yang cukup disayangkan adalah sikap para oposisi demokratik sendiri, yang tidak punya alternatif penyelesaian ekonomi, kecuali meniru Soeharto dan Habibie: menggantungkan pada IMF. Megawati misalnya, yang merupakan representasi kekuatan borjuis kecil, pengusaha menengah dan pengusaha kecil, lebih mengutamakan mencari dukungan dari IMF. Padahal, program-program neo-liberalisme IMF, sistem pasar bebas, menghancurkan perusahaan menengah dan kecil. Sebab, dengan diterapkannya pasar bebas tersebut, berarti pula memberi peluang seluas-luasnya bagi perusahaan multinasional yang bermodal raksasa tersebut untuk mencaploki perusahaan kecil dan menengah. Atau setidak-tidaknya, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah akan mati dalam persaingan melawan perusahaan multinasional.
Sedangkan Dr.Muchtar Pakpahan, yang mengaku mewakili kelas buruh walau sebenarnya sangat sedikit anggota Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang dia pimpin, sehingga belum dapat dikatakan bahwa Muchtar mewakili kepentingan buruh selalu berusaha melobby pimpinan-pimpinan IMF. Padahal program-program IMF merugikan kaum buruh, seperti program efisiensi. Bentuk efisiensi itu adalah PHK massal, pemotongan gaji/jam kerja dan mempertahankan upah buruh murah. Di saat buruh-buruh di beberapa negara, yang paling kuat adalah di Korea Selatan, menentang IMF karena merugikan kaum buruh, Muchtar justeru bekerja sama dengan IMF.
Kita bukan tidak membutuhkan dana, tapi kalau "bantuan" tersebut digunakan sebagai alat untuk memaksakan sistem ekonomi-politik yang merugikan mayoritas rakyat, kita harus dengan tegas menolaknya. Yang lebih penting, kaum oposisi demokratik harus mempunyai alternatif penyelesaian ekonomi yang benar-benar demokratik. Penyeleseaian ekonomi yang benar-benar demokratik, berarti membuat alternatif penyelesaian yang menguntungkan mayoritas rakyat, yaitu: buruh, tani, pengusaha kecil dan menengah, pekerja kelas menengah serta mahasiswa/pelajar. Itu baru bisa dikatakan bahwa kita memang benar-benar demokratis.
Setahun lebih pemerintah Soeharto, dan dilanjutkan Habibie, menggantungkan perbaikan ekonomi pada IMF, tapi tidak ada hasilnya. Nilai kurs rupiah terus berfluktuasi diatas Rp.10.000 per US$. Inflasi semakin membubung tinggi. Pertumbuhan ekonomi minus. Makin banyak perusahaan, terutama perusahaan kecil, yang gulung tikar. Bahan makanan semakin langka, bahkan di beberapa daerah mulai dilanda kelaparan. Kalaupun tokoh-tokoh pro-demokrasi "yang sama-sama menggantungkan diri pada IMF" berhasil mengambil kepemimpinan negara, apa mereka mampu mengatasi krisis ekonomi ? Layak diragukan, karena mereka hanya akan meneruskan kebijakan IMF yang selama ini dijalankan oleh Soeharto dan Habibie -- jika masih menggantungkan pada IMF seperti yang berlangsung selama ini.
Dewan Rakyat dan Pemutihan Hutang
Dalam menangani hutang luar negeri, kita juga harus mengutamakan kepentingan mayoritas. Hutang luar negeri dan "bantuan" IMF selama ini hanya menguntungkan segelintir pengusaha besar, tapi merugikan mayoritas rakyat. Oleh karena itu, kita harus mengorganisir mayoritas rakyat untuk menuntut pemutihan hutang luar negeri kepada IMF dan Bank Dunia. Pihak IMF/Bank Dunia silakan membawa pejabat Indonesia dan pengusaha yang bertanggung jawab terhadap hutang tersebut ke pengadilan internasional.
Apakah IMF/Bank Dunia akan menerima tuntutan pemutihan hutang luar negeri ini ? Sangat kecil kemungkinannya. Namun, kepentingan mayoritas rakyat tidak boleh ditawar-tawar.
Agar bisa memutihkan hutang, rakyat perlu mengontrol perekonomian negara. Rakyat mengontrol perekonomian negara tersebut melalui lembaga perwakilan sejati, bukan lembaga perwakilan papan nama seperti DPR yang selama ini ada. Apakah DPR hasil pemilu "multipartai" 1999 nanti akan mampu menjadi lembaga perwakilan sejati ? Masih harus dipertanyakan.
Pertama, pemilu "multipartai" tersebut masih dalam kerangka sistem politik yang otoriter. Kedua, pemilu tersebut masih dibawah bayang-bayang represi militer, karena tentara masih berpolitik. Ketiga, usaha membatasi kebebasan pemilu masih diwujudkan dalam berbagai kebijakan nyata, seperti persyaratan pengumpulan minimal 1 juta tandatangan. Keempat, rejim berusaha mematikan partai-partai kecil dengan menggunakan sistem distrik. Hal lain yang membuat kita pesimis bahwa DPR yang akan datang akan mampu menjadi perwakilan sejati rakyat adalah karena partai-partai yang sudah berdiri lebih cenderung menjadi electoral-machine (mesin pengumpul suara) semata. Sehingga, DPR nantinya tidak beda dengan talk-show, tukang ngomong belaka.
Oleh karena itu, rakyat perlu membentuk lembaga perwakilannya sendiri, yang sekaligus berfungsi sebagai pemerintahan sementara. Lembaga tersebut adalah Dewan Rakyat, yang mana nanti juga membentuk Dewan Pemerintahan Koalisi Demokratik sebagai eksekutif. Program ekonomi Dewan Rakyat antara lain mengontrol perekonomian nasional dan memenuhi kebutuhan mendesak rakyat. Kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah kebutuhan pangan. Oleh karena itu, Dewan Rakyat harus mengontrol distribusi sembilan bahan pokok (sembako) yang selama ini dilakukan secara tidak demokratis dan tidak merata.
Dalam menangani masalah hutang, Dewan Rakyat harus memutihkan hutang luar negeri. Hal ini tidak bisa dilakukan, jika Dewan Rakyat tidak berfungsi sebagai pemerintah sementara. Untuk mempercepat pembentukan pemerintahan sementara, embrio-embrio Dewan Rakyat yang sudah ada di berbagai daerah harus dikembangkan, dan daerah-dearah yang belum terbentuk harus didorong untuk segera membentuk. Selanjutnya, dalam rangka meyakinkan mayoritas rakyat, program-program Dewan Rakyat harus segera dipublikasikan. ***