Bahasan Utama 1

 

PUTIHKAN HUTANG LUAR NEGERI !

 

Salah satu jalan mengatasi krisis ekonomi kita adalah memutihkan hutang luar negeri. Pihak donatur silakan menyeret presiden, para menteri Ekuin, Gubernur BI dan pengusaha yang mempunyai pinjaman ke pengadilan internasional. Namun, mayoritas rakyat tidak boleh menerima getah dari hutang luar negeri.

Hutang luar negeri merupakan persoalan ekonomi Indonesia yang paling pelik. Dengan jumlah hutang yang begitu besar, kita telah terjerat dalam skenario bisnis perusahaan-perusahaan multinasional (Multi National Corporations/MNC). Pertama, kita menjadi tergantung sehingga mau tidak mau harus terus menggali hutang baru. Kedua, ketergantungan ekonomi tersebut telah dijadikan alat untuk memaksakan program-program neo-liberalisme.

Akibat dari hutang tersebut ditanggung oleh seluruh rakyat, lebih-lebih hutang tersebut mengakibatkan krisis ekonomi. Rakyat tidak pernah menyetujui dan menikmati hutang-hutang tersebut. Sebab, sebagian besar dana pinjaman tersebut merupakan hutang swasta yang digunakan untuk ekspansi bisnis swasta. Sementara hutang pemerintah dan BUMN digunakan untuk pembangunan proyek-proyek yang tidak efisien serta dikorupsi. Menurut ahli ekonomi-politik Indonesia Jeffrey A. Winters dana dari Bank Dunia yang dikorupsi para pejabat lebih dari sepertiganya, dengan jumlah nominal lebih dari US$ 10 milyar. Baru sekarang Bank Dunia melacak dana yang dikorupsi pejabat Indonesia tersebut.

 

Dibalik Hutang Luar Negeri

Perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara imperialis terus mengakumulasikan modal, dengan melakukan ekspansi, ke negara-negara yang prospektif. Kawasan Asia, termasuk Indonesia, merupakan kawasan yang paling prospektif. Kawasan yang paling cocok untuk menanamkan modal. Kawasan yang menguntungkan untuk dijadikan nasabah. Untuk melipatgandakan modal itu, ada berbagai cara, antara lain: melalui operasi secara langsung di negara-negara tersebut, melalui pasar modal atau meminjamkan uangnya dalam bentuk hutang. Penanaman hutang di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1992 hutang pemerintah sebanyak US$48.769 juta, hutang BUMN sebesar US$4.516. Pada tahun 1993 hutang pemerintah sebesar US$52.461 juta dan hutang BUMN sebesar US$5.061 juta Tahun 1994 hutang pemerintah US$58.61 juta, BUMN sebesar US$ 5.070 juta. Tahun 1995 hutang pemerintah sebanyak US$ 59.588 juta, BUMN sebesar US$ 4.822 juta. Tahun 1996 hutang pemerintah sebesar US$ 56.303 juta, BUMN US$3.742 juta. Tahun 1997 hutang pemerintah sebesar US$ 53.865 juta, BUMN sebesar US$ 3.395 juta. Tahun ini, sampai Triwulan I hutang pemerintah sebesar US$ 54.160 juta, sedangkan BUMN sebesar US$ 3.842 juta. Ini semua belum termasuk hutang swasta, yang jumlahnya selalu lebih besar dari hutang pemerintah dan BUMN.

Ketika kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika mulai jatuh setahun yang lalu, hutang menjadi "malaikat maut." Baik pemerintah maupun swasta harus membayar hutang dengan nilai berlipat-lipat. Akibatnya, perekonomian makin jatuh, banyak perusahaan yang bangkrut. Untuk memperbaiki perekonomian, pemerintah mencari pinjaman baru (pinjaman pemerintah maupun swasta), baik dari IMF, pinjaman bilateral maupun pinjaman multilateral. Sampai sekarang ini, hutang luar negeri kita bertambah US$ 42, 3 milyar. Terdiri dari pinjaman dari IMF sebanyak US$ 11,2 milyar; pinjaman multilateral sebanyak US$10.0 milyar; pinjaman bilateralsebanyak US$ 21,1milyar. Sampai saat ini, yang sudah dicairkan sebanyak US$ 6,0 milyar. Jadi keseluruhan hutang luar negeri kita sekarang adalah US$ 145 milyar. Jatuh tempo hutang tersebut untuk swasta rata-rata 5 tahun, sedangkan untuk hutang pemerintah 10 tahun. Untuk pinjaman lunak, jatuh temponya 20 tahun. Jadi, beban hutang ini akan ditanggung generasi 5 sampai 20 tahun mendatang. Sementara, Soeharto yang paling bertanggung jawab atas hutang ini sudah tidak lagi menjabat presiden. Habibie, dan penerus Soeharto yang lain, mungkin juga sudah tidak menjabat lagi.

Kalau seandainya pemilu nanti dimenangkan oleh oposisi --misalnya Megawati--, ia akan mewarisi hutang sebanyak itu. Jika kurs masih bertahan diatas Rp. 10.000 per US$, maka warisan hutang tersebut sebesar Rp.1.450.000.000.000,-. Itu belum termasuk cicilan, yang bunganya rata-rata sebesar 8%.

IMF/Bank Dunia adalah lembaga yang paling banyak memberikan "bantuan" keuangan ke beberapa negara yang membutuhkan dana. Istilah "bantuan" ini bukanlah istilah yang tepat. Istilah yang tepat adalah : menanamkan modal. Sebab, IMF/Bank Dunia tidak beda dengan rentenir atau lintah darat. IMF merupakan sebuah konsorsium perusahaan-perusahaan multinasional dari berbagai negara imperialis, seperti Amerika, Ingris, Jerman, Australia, Jepang dan Cina. Konsorsium itu menjadi lembaga untuk menyalurkan modal mereka ke negara-negara yang memerlukan. Hutang tentu menghasilkan bunga. Indonesia sejak dikuasai Orde Baru merupakan salah satu negara yang sangat tergantung pada hutang. Bahkan sejak ekonomi kita jatuh satu tahun yang lalu, pemerintah kembali menggali hutang dengan jumlah yang besar.

Bagi IMF, keuntungan yang didapat dari "bantuan" kepada negara-negara yang meminjam tidak semata-mata mendapat bunga. Tapi, keuntungan yang jauh lebih besar adalah IMF dapat memaksakan program-program neo-liberalisme. Sistem neo-liberalisme adalah sistem yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional, para pemilik modal IMF. Uang yang dipinjamkan menjadi alat pengontrol kebijakan ekonomi negara-negara peminjam. Di Indonesia, secara umum program neo-liberalisme tersebut adalah: pembebasan investasi, penghapusan proteksi ekspor-impor, pemotongan subsidi-subsidi, efisiensi (PHK massal dan upah rendah), dan penghapusan monopoli oleh kapitalis kroni (kerabat para pejabat).

 

Pertentangan Kapitalis Kroni dengan Neo-Liberal

Dalam beberapa hal (bukan secara keseluruhan) ada pertentangan antara kapitalis kroni dan kapitalis neo-liberal. Pertentangan tersebut terutama adalah soal monopoli yang dilakukan oleh kapitalis kroni, seperti keluarga Soeharto, keluarga Habibie, keluarga Wiranto, keluarga Harmoko, keluarga Abdul Latief dan lain-lain. Pada prinsipnya, kapitalis neo-liberal bukan antimonopoli. Perusahaan-perusahaan multinasional sendiri merupakan perusahaan monopoli besar berskala internasional. Namun, monopoli yang dilakukan oleh kapitalis kroni tidak fair, menurut teori pasar bebas. Sebab, mereka menyalahgunakan jabatan yang dimiliki untuk memberikan fasilitas bisnis kepada kerabatnya sendiri. Fasilitas tersebut bentuknya macam-macam, seperti : monopoli usaha, fasilitas kredit, pembebasan pajak, bantuan alat negara untuk mencaplok tanah, proteksi dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas tersebut telah merugikan perusahaan-perusahaan multinasional, karena menghambat usaha mereka. Jelas, pengusaha yang mendapat fasilitas khusus, walaupun tidak lebih efisien, menang dalam "persaingan."

Sedangkan bentuk monopoli dalam sistem neo-liberalisme berbeda. Monopoli dalam sistem neo-liberalisme bersumber dari akumulasi modal. Besarnya akumulasi modal yang dimiliki oleh perusahaan multinasional telah memungkinkan perusahaan tersebut untuk membeli mesin-mesin canggih, membiayai riset untuk melakukan berbagai macam inovasi, mencaplok perusahaan lain dan menguasai usaha dari bidang yang paling primer sampai bisnis eceran.

Oleh karena itu, kapitalis neo-liberal merasa perlu menghancurkan hambatan-hambatan bagi ekonomi pasar bebas, yaitu kroniisme. Untuk menghancurkan kroniisme, diperlukan "demokratisasi" dalam beberapa hal. Sekali lagi perlu ditegaskan : "demokrasi" dalam beberapa hal saja, bukan demokrasi yang sepenuh-penuhnya dan konsisten.

Dalam sistem kapitalisme neo-liberal, demokrasi bukan lagi berarti "satu orang, satu suara," tapi "satu Dollar, satu suara." Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, tentunya, merasa perlu melakukan intervensi terhadap kebijakan ekonomi dan politik Indonesia. Alat yang digunakan untuk melakukan intervensi tersebut adalah IMF melalui "bantuannya." Untuk mencairkan dana "bantuan" tersebut, pihak IMF memberikan berbagai syarat. Dalam negosiasi, pihak pemerintah Indonesia selalu tunduk kepada syarat-syarat yang diberikan IMF tersebut. Karena pemerintah Indonesia tergantung (lebih tepatnya: menggantungkan diri ) pada IMF. Sudah jelas sekali, bahwa hutang luar negeri (baik hutang pemerintah maupun hutang swasta) telah membuat Indonesia distir oleh pihak imperialis. Karena hutang yang begitu besar, perekonomian kita menjadi hancur. Untuk memperbaiki perekonomian tersebut diperlukan hutang baru.

 

Pemutihan Hutang Luar Negeri

Akibat hutang yang merupakan ulah pemerintah dan pengusaha tersebut diderita oleh seluruh rakyat. Bahkan ditanggung oleh anak cucu kita yang belum lahir. Sementara, para pejabat yang paling bertanggung jawab atas hutang-hutang tersebut tidak mempunyai resiko. Jelas, ini tidak adil. Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus menuntut pemutihan hutang luar negeri kepada IMF/Bank Dunia. Pemutihan hutang luar negeri berarti semua hutang luar negeri kita dianggap lunas. Dengan demikian, rakyat Indonesia dan generasi mendatang tidak lagi dibebani oleh hutang warisan. Semua dana pinjaman yang sudah masuk ke Indonesia sepenuhnya digunakan untuk meningkatkan aktivitas produksi.

Pihak yang bertanggung jawab terhadap hutang tersebut adalah peminjam hutang itu sendiri, yaitu: presiden, para menteri bidang ekonomi dan keuangan (termasuk Gubernur Bank Indonesia) dan para pengusaha yang meminjam hutang. Pihak IMF dan negara-negara donor, jika menginginkan dananya kembali harus menuntut mereka ke pengadilan internasional. Tentunya, "pemerintahan" Habibie tidak berani mengambil tindakan ini, sebab selain ia bagian dari rejim Soeharto, ia juga menggantungkan diri pada IMF. Bagaimana dengan para oposisi demokratik ? Baik Dr.Amien Rais, Megawati, maupun Dr.Muchtar Pakpahan dalam hal ini tidak berbeda dengan Orde Baru, masih menggantungkan diri kepada IMF. Seolah-olah tidak punya perspektif baru, mereka yakin bahwa tidak akan ada perbaikan ekonomi tanpa bantuan IMF. Dengan demikian, berarti membiarkan rakyat dan generasi mendatang menderita akibat getah hutang luar negeri yang dibuat dan dinikmati oleh segelintir orang tersebut.

Kita dianugerahi kekayaan alam yang sampai sekarang masih melimpah, yang mana kalau kita kelola dengan benar dan jujur akan memberikan basis ekonomi bagi kita untuk bangkit. Mengelola butuh dana adalah benar. Tapi menggantungkan diri pada imperialis bukan satu-satunya jalan. Apalagi, jika dengan menggantungkan diri tersebut kerugiannya bagi rakyat banyak jauh lebih besar daripada manfaatnya. Lebih-lebih, hanya sebagian kecil dana pinjaman baru dari IMF tersebut yang digunakan untuk mengelola kekayaan alam. Artinya, hutang pun tidak banyak bermanfaat.

Dari keseluruhan pinjaman saja, yang benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hanya US$15 milyar. Sisanya, digunakan sebagai cadangan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan untuk menalangi hutang-hutang swasta yang sudah jatuh tempo, namun tidak bisa diperpanjang lagi.

Kebijakan ini jelas tidak bermanfaat bagi rakyat. Dana cadangan, jelas tidak bermanfaat bagi produktivitas ekonomi, namun kita harus mengeluarkan dana untuk membayar bunga. Sedangkan "gali lubang tutup lubang" untuk menalangi hutang swasta sama sekali menindas rakyat. Ini artinya membebani mayoritas rakyat untuk membantu segelintir pengusaha. Manfaatnya diambil pengusaha yang mempunyai hutang tersebut, seluruh rakyat yang menanggung getahnya.

Mungkin ada pendapat yang mengatakan bahwa pemutihan hutang berarti "merampok" dana yang telah dipinjamkan kepada kita. Dengan tegas harus kita jawab : Tidak ! Justeru perusahaan-perusahaan multinasional itu adalah lintah darat yang telah memakan riba rakyat Indonesia dan mereka selama 32 tahun lebih ini merampok kekayaan alam kita. Mereka sudah mendapat untung yang lebih besar daripada dana yang ada di sini.***

 

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi]