BELAJAR PERISTIWA SEPULUH TAHUN YANG LALU DI BURMA
Oleh : Hendri Kuok
Pada bulan Maret 1988, di Burma terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan dimana harga harga melonjak, kekurangan makanan dan bahan pokok, serta meningkatnya represi politik yang telah menimbulkan gelombang protes dan kerusuhan sosial besar-besaran di seluruh negeri.
Menghadapi ini rejim militer hanya punya satu cara yaitu menggunakan represi. Pada bulan-bulan tersebut tercatat kurang lebih 300 orang terbunuh oleh polisi dan tentara. Ketika semakin banyak orang turun ke jalan, pemerintah pun tidak bisa lagi mengontrol itu. Pada bulan Juli 1988, partai penguasa yaitu Lanzin atau Burma Socialist Program Party (BSPP) mengadakan kongres luar biasa dan diktator Ne Win yang sudah berkuasa sejak tahun 1962 secara resmi mengundurkan diri, sebagai taktik membujuk rakyat untuk menghentikan demonstrasi agar militer bisa lebih lanjut melakukan represi. Sebagai gantinya kepala kepolisian antihura-hara, Jendral Sein Lwin, dilantik menjadi presiden pada bulan Juli 1988. Penggantian presiden ini tidak memadamkan semangat perlawanan, bahkan gelombang massa semakin tidak terbendung.
Undang-undang Darurat
Pada tanggal 3 Agustus 1988, pemerintah militer mendeklarasikan Undang-undang Darurat. Pada tanggal 8 Agutus 1988, mahasiswa, buruh dan tani melancarkan pemogokan nasional. Hal ini membuat kota Rangoon dan seluruh negeri lumpuh. Aksi ini dikenal sebagai 8888 action. Akibatnya, tanggal 9 Agustus diberlakukan jam malam mulai jam 8 malam sampai 4 pagi. Akan tetapi semua usaha ini gagal untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa yang jumlahnya sudah mencapai angka ratusan ribu. Demonstrasi menjadi semakin menghebat, manakala polisi menembaki orang.
Radio Rangoon melaporkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 1988 tercatat paling tidak 98 orang meninggal. Angka itu bisa jauh lebih tinggi, bahkan beberapa media asing memperkirakan sekitar 3000 orang. Para demonstran mulai menduduki kantor polisi dan merebut senjata dari tangan polisi dan menggunakannya untuk melawan polisi yang lain. Pada tanggal 12 Agustus 1988, Sei Lwin mengundurkan diri sebagai ketua partai BSPP dan presiden. Seminggu kemudian Jaksa Agung dalam kabinet Sei Lwin, yaitu Dr.Maung Maung, diangkat menjadi presiden dan ketua partai. Pada tangal 24 Agustus Maung Maung mengumumkan bahwa Konggres Luar Biasa partai Lanzin akan diselenggarakan pada tanggal 12 September dengan agenda membahas referendum nasional dan menerapkan sistem demokrasi multipartai.
Dr. Maung Maung ini mempunyai kemiripan dengan Habibie : seorang teknokrat yang mengenyam pendidikan luar negeri. Tapi ia juga bekas wartawan dan penulis terkenal di Burma. Tapi secara diam-diam dia banyak menikmati keuntungan dari kudeta miiter tahun 1962. Jelasnya, Dr.Maung Maung adalah seorang "anak emas" Ne Win. Pengangkatan Dr.Maung Maung tidak menghentikan gelombang demonstrasi. Pada tanggal 22 Agustus, mereka kembali melakukan pemogokan nasional dengan tuntutan untuk membentuk pemerintahan sementara yang dapat menjalankan pemilu secepat-cepatnya. Gelombang pemogokan dan demonstrasi ini akhirnya berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut Undang-undang Darurat di daerah Ranggo dan Prome. Demonstrasi tidak hanya diikuti oleh mahasiswa, buruh dan petani, bahkan dokter, pedagang, pegawai negeri, dan sopir juga ikut bergabung dalam demonstrasi tersebut. Para demonstran pun mulai menduduki balai kota dan pusat-pusat pemerintahan yang strategis. Pemerintahan BSPP secara de facto sudah hancur dan militer pun menarik diri dari kota. Para tentara pun mulai mengosongkan uang sebanyak 600 juta Kyat ( mata uang Burma) dari Bank Sentral, dan membawa uang itu ke tempat persembunyian mereka.
Berhasilkan mereka membentuk pemerintahan sementara ? Kekuatan oposisi pada waktu itu terbagi dalam beberapa kelompok di bawah pimpinan beberapa figur, seperti U Nu, mantan Perdana Menteri Burma sebelum kudeta tahun 1962, Aung San Suu Kyi (puteri Bapak Kemerdekaan Burma, Aung Saan), U Tin Oo, Tin U dan Aung Gyi (seorang pensiunan Brigadir Jendral).
Kepentingan politik yang berbeda-beda diantara mereka telah menyebabkan mereka tidak mampu membentuk pemerintahan sementara dengan cepat.
U Nu merasa dirinya masih Perdana Menteri yang sah, karena dia dikudeta oleh Ne Win di tahun 1962. Pada tanggal 8 September, U Nu mendirikan pemerintahan sementara yang beranggotakan para pembangkang politik di tingkat elit ( barisan sakit hati terhadap Ne Win). U Nu sama sekali tidak melibatkan Aung San Suu Kyi dan Aung Gyi dalam pemerintahan sementaranya ini. Tin U -- bekas Menteri Pertahanan Keamanan Burma yang dipecat Ne Win tahun 1976--, telah diangkat U NU sebagai wakil dia dalam pemerintahan sementara. Menyadari bahwa pemerintahan sementara bikinan U Nu tidak populer di depan rakyat, maka Tin U pun cepat-cepat menyatakan dirinya tidak mau dilibatkan dalam pemerintahan sementara U Nu dan mengaku tidak merasa pernah dihubungi oleh U Nu.
Sementara itu, Aung San Suu Kyi dan Aung Gyi justeru sibuk bernegosiasi dengan Dr. Maung Maung yang praktis sudah tidak punya kekuatan lagi. Pada tanggal 12 September Aung Gyi, Tin U dan Aung San Suu Kyi mengeluarkan siara pers bersama yang ditujukan kepada Dr. Maung Maung dengan usulan membentuk pemerintahan sementara yang bisa diterima oleh rakyat. Jelas, usulan itu ditolak oleh Maung Maung, akan tetapi dia setuju untuk melaksanakan pemilu dalam jangka waktu tiga bulan. Rakyat terus melakukan demonstrasi dan menuntut agar pemerintahan sementara dibentuk tanpa unsur militer dan partai Lanzin (BSPP).
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya para pemimpin oposisi borjuis dan liberal itu tidak mempunyai kontrol penuh terhadap massa. Kecuali Aung San Suu Kyi yang punya hubungan langsung dengan massa mahasiswa dan kaum miskin. Para pemimpin lainnya merupakan bekas pendukung rejim ataupun pendukung Ne Win sendiri yang berbalik menentang dia. Mahasiswa sendiri berada dibawah pimpinan All Burma Student Union dibawah pimpinan Min Ko Naing (nama samaran). Tebukti bahwa pemerintahan sementara U Nu tidak mendapat dukungan dari massa dan ditinggalkan oleh rakyat.
Celakanya, para mahasiswa sendiri tidak mampu mengambil inisiatif untuk mendirikan pemerintahan sementara yang pro rakyat. Mereka justeru menunggu dan menunggu terus agar para pimpinan oposisi bisa berhasil mendirikan pemerintahan sementara. Faktanya, mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berebut kedudukan sebagai pimpinan dari pemerintahan sementara tersebut dan tidak berhasil menemukan jalan keluar.
Militer Kembali Tampil
Setelah berminggu-minggu menduduki ibu kota dan menunggu para pimpinan mendirikan pemerintahan sementara, banyak orang mulai jenuh dan mood massa pun sudah mulai menurun. Pada tanggal 18 September ketika militer melakukan serangan balik, mereka masih mampu memobilisir sekitar 300.000 orang. Tapi ketika mereka dihadapkan represi habis-habisan, mereka pun memutuskan untuk mundur dan lari ke hutan.
Militer telah berhasil menghimpun kembali kekuatan mereka dalam beberapa minggu ketika kaum oposisi mengalami deadlock dalam memecahkan masalah pemerintahan sementara. Pada tanggal 18 September, Dr. Maung Maung digantikan oleh Menteri Pertahanan Keamanan yaitu Jendral Saw Maung dan dia segera membentuk dewan presidium yang terdiri dari 19 orang yang tergabung dalam SLORC (State Committee for the Establishment of Law and Order). Undang-Undang Darurat kembali diberlakukan. Perintah tembak di tempat diberlakukan kembali. Penembakan dan pembunuhan terus dilakukan. Mahasiswa masih mencoba melawan dengan sisa-sisa tenaga mereka, tapi akhirnya mereka memutuskan untuk masuk ke hutan dan angkat senjata di perbatasan Burma-Thailand dan perbatasan Burma-India.
Sejak detik itu, Burma dipimpin oleh pemerintahan militer yang brutal, sampai hari ini. SLORC memang mencoba menyelenggarakan pemilu pada tahun 1990 dibawah sistem multipartai, dimana mereka mengganti beberapa undang-undang represif. Akan tetapi dengan gampang pula mereka membatalkan hasil pemilu dan memenjarakan Aung San Suu Kyi, pimpinan Liga Nasional Demorkrasi (NLD) yang menang dalam pemilu tahun 1990.
Pelajaran bagi Indonesia
Sudah selayaknya rakyat Indonesia menarik pelajaran dari pengalaman kaum pro demokrasi di Burma. Janganlah tergantung pada tokoh-tokoh primadona oposisi yang tidak pernah berhubungan langsung dengan massa-rakyat. Janganlah menunggu mereka untuk membentuk pemerintahan sementara, rakyat sendirilah yang harus membentuk pemerintahan sementara yang beranggotakan wakil rakyat dari berbagai sektor ekonomi, sosial, dan politik. Dalam hal ini, Dewan Rakyat merupakan jawaban yang tepat dimana Dewan Rakyat bisa menjadi perwakilan sejati bagi masyarakat dari tingkatan paling rendah : pabrik, desa, kampus sampai tingkatan pusat. Dan rakyat sendirilah yang mempunyai akses langsung untuk menentukan wakil mereka di Dewan Rakyat. Konsep presidium yang digulirkan oleh Arief Budiman, dengan tiga orang anggota yaitu Amien Rais, Emil Salim, dan Wiranto merupakan konsep yang elitis. Siapa yang memilih mereka duduk di presidium kabinet sementara, rakyatkah atau mereka memilih diri mereka sendiri ? Apakah Amien Rais dan Emil Salim merupakan pimpinan massa yang benar-benar mengorganisir dan memberikan arahan politik kepada rakyat ? Ketika diwawancarai oleh Four Corners, ABC TV Australia, Emil Salim justru mengatakan pengalaman dia di gedung DPR/MPR itu merupakan pengalaman pertamanya bicara di tengah kerumunan massa dan demonstrasi.
Dan yang paling celaka adalah kehadiran militer dalam pemerintahan sementara versi Arief Budiman. Belajar dari pengalaman Burma, jelas bahwa militer tidak akan pernah mau melepaskan kepentingan mereka dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh kembali. Dengan memberi peluang bagi Wiranto untuk duduk di presidium elitis itu, jelas akan memperkuat kembali posisi militer yang sewaktu- waktu akan mengambil alih kekuasaan secara paksa.
Dari kasus Burma pula kita tahu bahwa selama militer masih memainkan peranan politik, mereka tidak akan pernah bersikap demokratis. Jadi, kendatipun di Indonesia bisa dilaksanakan pemilu ulang, tapi militer masih tetap bercokol, sangat mungkin sekali mereka pun akan membatalkan hasil pemilu yang tidak berkenan di hati mereka. Untuk itulah pentingnya Dwi Fungsi ABRI dicabut dan militer harus kembali ke barak; tidak usah lagi turut campur dalam urusan politik. Kendatipun Habibie ingin memberikan konsesi dengan mengurangi jumlah anggota ABRI di DPR, bukan berarti Dwi Fungsi ABRI sudah dicabut. Pencabutan Dwi Fungsi ABRI bukan hanya berarti pengurangan jatah ABRI di DPR, tapi seluruh aktifitas sosial politik ABRI harus dihilangkan dari segala bidang dan sektor kehidupan. Mereka hanya tinggal di barak dan menjadi tentara profesional saja.
[Hendri Kuok, Koordinator Komite Persiapan Legalisasi PRD (Kepal-PRD)]