Mimbar Bebas

 

KAKI TANGAN AMERIKA DI JAKARTA

Oleh : Allan Nairn

 

Seiring tumbangnya diktator Soeharto pada 21 Mei, ABRI telah mati-matian mengamankan posisi mereka. Daripada membiarkan Soeharto digulingkan oleh gelombang kekuatan protes massa di jalan-jalan, Pangab Jenderal Wiranto lebih memilih untuk mengancam mahasiswa dengan "Peristiwa Tiananmen," dan kemudian membujuk Soeharto untuk mengundurkan diri secara damai.

 

Pimpinan-pimpinan ABRI ketakutan. Mereka tahu bahwa jika jutaan rakyat turun ke jalan dan tentara kehilangan kontrol, maka persoalannya bukan lagi hanya kekuasaan Soeharto, tapi juga kelangsungan posisi politik mereka sendiri. Ketika itu terjadi, maka ABRI memilih menghindari bahaya yang lebih besar, sehingga kemudian: Soeharto berlalu, dan begitu pula para mahasiswa, dipaksa keluar dari Gedung DPR/MPR yang telah mereka duduki selama lima hari.

Setelah itu, Wiranto secara non-stop berkonsultasi ke Kedutaan Amerika Serikat, berusaha untuk menutup-nutupi jejak-jejak ABRI yang berlumuran darah. Dia menurunkan pangkat Letjen Prabowo, menantu Soeharto yang dibenci rakyat, dan menyalahkan dia atas semua tindakan ofensif ABRI selama bulan-bulan terakhir.

Pemerintah AS, dalam koran Washington Post tanggal 23 Mei, mengumumkan bahwa Prabowo berada di belakang "hilangnya" aktivis-aktivis Indonesia akhir-akhir ini. Dua hari sebelumnya, yaitu tanggal 21 Mei, the Nation telah menerbitkan sebuah artikel (yaitu bagian pertama dari tulisan ini) yang menyebutkan kesatuan-kesatuan ABRI yang terlibat dalam penculikan dan penyiksaan para aktivis beberapa diantara kesatuan itu ada di bawah kontrol Prabowo, tetapi secara keseluruhan, semuanya ada di bawah kendali Wiranto. Di koran itu disebutkan bahwa pejabat-pejabat AS menyatakan keterkejutan dan "kemarahan" pada Prabowo, dan mengatakan bahwa Kedutaan AS telah dan sedang mengusahakan agar aktivis-aktivis tersebut dilepaskan.

Hal ini bertentangan dengan posisi AS yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan seorang pejabat kedutaan pada saat puncak-puncaknya "hilangnya" para aktivis itu : "Prabowo adalah anak emas kami; dia orang yang tidak mungkin berbuat salah."

Kenyataannya, kesatuan-kesatuan Prabowo yang melakukan penculikan dan penyiksaan itu, khususnya KOPASSUS Kelompok 4, yang oleh para pejabat AS dianggap sebagai satu-satunya kesatuan yang dipersalahkan sejak awal penculikan itu selalu dalam ikatan kerjasama yang erat dan akrab dengan intelijen AS. Malam setelah Prabowo diganti, Kolonel Chairawan yang merupakan Komandan Kelompok 4 tersebut, menegaskan kepada saya bahwa dia senantiasa berhubungan dengan Kolonel Charles McFetridge, yaitu dari DIA (Defense Intelligence Agency/ Biro Intelijen Pertahanan) yang dipasang di kedutaan AS.

Walaupun Chairawan menolak mengakui, namun empat orang penting lainnya di ABRI mengatakan Chairawan pernah bilang bahwa tentara-tentara di kelompok 4 telah dilatih oleh intelijen AS sebuah pernyataan yang telah dibenarkan oleh pejabat-pejabat AS secara pribadi. Tahun lalu, selama mendekati masa-masa Pemilu, KOPASSUS, dengan dukungan AS, diperluas dari 3.000 menjadi 4.800 pasukan tempur. Menurut sebuah artikel yang ditulis oleh Kolonel John Haseman, yang semula adalah orang DIA yang dipasang di Jakarta, hal ini dilakukan "dengan pertimbangan adanya potensi instabilitas dalam negeri."

Pentagon membangun KOPASSUS dengan lebih dari 24 kali program JCET (Joint Combined Exchange and Training/ Latihan dan Pertukaran Gabungan Bersama) yang melatih dan mendukung rencana Prabowo untuk mendapatkan helikopter-helikopter buatan AS. AS secara terbuka memuji Prabowo setelah Prabowo melakukan serangan untuk penyelamatan sandera tahun 1996 di Papua Barat, dimana seorang pejabat yang patut dipercaya mengatakan bahwa orang-orang Prabowo ketika itu membunuh delapan warga sipil setelah KOPASSUS menyerbu dengan menggunakan taktik naik helikopter dan menyalakan lampu secara salah (dan tidak sah) menggunakan tanda Palang Merah.

Walaupun kebiasaan pribadi Prabowo yang senang melakukan kekejaman sudah kondang, namun para pejabat tinggi AS menggelari dia tahun ini sebagai "tenaga uap yang mampu menanggulangi krisis politik." Pada bulan Januari, Sekretaris Pertahanan AS William Cohen memuji "disiplin yang sangat mengagumkan" dari KOPASSUS. Asisten Sekretaris Negara AS Stanley Roth mengajak Prabowo dua kali ketika dia mengunjungi penjara untuk bertemu Xanana Gusmao. Prabowo telah melakukan pembantaian yang paling banyak di Timor Timur. Yang tidak kurang besarnya adalah dukungan AS terhadap saingan profesional Prabowo, Jenderal Wiranto, yang kesatuan-kesatuannya juga dilatih dalam program JCET, dan yang telah dielu-elukan sebagai "seorang yang penuh integritas dan patriot Indonesia sejati" oleh Laksamana Joseph Prueher, Kepala Komando AS di Pasifik. Pada tanggal 4 Maret, Prueher mengatakan kepada Kongres AS bahwa militer AS sedang berjaga-jaga terhadap "sinyal-sinyal awal instabilitas" di Asia Timur, termasuk soal "perburuhan." Lima hari kemudian, kesatuan intelijen ABRI, BIA, yang berada dibawah kendali Wiranto setiap hari, menangkap sembilan aktivis buruh yang menyerukan tuntutan untuk menaikkan upah minimum.

Seorang pejabat AS mengatakan kepada saya bahwa beberapa diantara para aktivis itu disiksa, dan mencatat bahwa minggu-minggu sebelumnya BIA telah melakukan serangkaian pengrusakan dan penghancuran kantor-kantor organisasi buruh, mahasiswa, maupun organisasi perempuan. Dia menambahkan bahwa di Timor-Timur, BIA kini menggunakan metode penyiksaan baru: mematahkan pinggang para tahanan. Pada tanggal 8 Maret, Letjen. Yunus Yosfiah, yaitu seorang tokoh kunci >dalam faksi Wiranto, mengatakan kepada para mahasiswa bahwa ABRI tidak akan "mentolerir kampanye apa pun yang menghendaki reformasi politik secara drastis." (Yunus Yosfiah, yang kini menjabat menteri penerangan, terlibat dalam pembunuhan tahun 1975 terhadap lima wartawan luar negeri di Timor Timur).

Bahkan ketika kami berbicara, Haryanto Taslam, yaitu orang kepercayaan Megawati Soekarnoputri, telah dibawa ke sebuah pusat penyiksaan di bawah kendali BIA. Seiring berlangsungnya penculikan aktivis, pejabat-pejabat yang patut dipercaya mengatakan kepada saya bahwa kondisi para aktivis tersebut seluruhnya diketahui oleh DIA dan stasiun CIA di Kedutaan.

Kendati begitu, baru pada pertengahan April, yaitu setelah terjadi krisis politik yang diakibatkan protes massa, maka Departemen Luar Negeri AS mendesak Prabowo untuk melepaskan beberapa aktivis. Bahkan setelah itu, Pentagon terus menyediakan sebuah program JCET baru, dan Deplu AS tersebut tetap menekan gerakan demokrasi untuk mendukung sebuah pemerintahan baru yang dibentuk di sekitar ABRI.

Sekarang, seiring AS yang sepenuhnya mendukung Wiranto, ABRI nampak berhati-hati akan adanya potensi amuk massa, dan melepaskan beberapa tahanan politik yang dulu ditangkap secara formal. Namun seberapa banyak yang tetap hilang di Timor Timur, begit pula setidaknya lima orang aktivis Indonesia yang belum jelas nasibnya (Sonny, Rian, Herman, Bimo Petrus dan Suyat).

Sungguh sial beberapa orang yang masih hilang, ketika Megawati, yang sedang mencari Haryanto Taslam, mendatangi pimpinan puncak ABRI, dia hanya diberitahu hal-hal yang absurd namun mengerikan. Beberapa di antara "orang-orang yang hilang," sebenarnya adalah para penyusup dari BIA yang menyusup ke gerakan pro-demokrasi dan kini telah kembali ke basis mereka. Demikian kata Jenderal tersebut. (Jenderal tersebut berharap) Implikasinya : kawan dan kerabat mereka agar merasa tidak perlu mencari mereka.***

(Diambil dari US Nation edisi 15 Juni. Dukungan riset diberikan oleh Investigative Fund of the Nation Institue. Untuk edisi Pembebasan diterjemahkan dari Green Left Weekly, Australia. Untuk mendapatkan informasi lebih detail, silakan tulis ke The Nation Po.Box.37072, Broone, IA 50037, USA)

 

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi]