Dua pilar kedikatoran Orde Baru, 5 UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI, sudah goyah. Setelah tuntutan pencabutan 5 UU Politik menguat, kini tuntutan pencabutan Dwi Fungsi ABRI menyusul. Tuntutan tersebut antara lain datang dari para intelektual, beberapa tokoh politik, dan mahasiswa (kelompok masyarakat yang saat ini paling aktif dan terorganisir melakukan perlawanan). Kelompok-kelompok yang kini secara terorganisir menentang Dwi Fungsi ABRI tersebut antara lain : Komite Perjuangan Rakyat anti Dwi Fungsi ABRI (Keparad), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan Forum Kota, semua di Jakarta. Di Yogya ada Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP), Solidaritas Massa Rakyat untuk Demokrasi (Somassi), Kesatuan Aksi Rakyat Peduli Indonesia (KARPI), Kesatuan Aksi Rakyat Gunungkidul (Karag) dan Koalisi Rakyat Yogyakarta (KRY). Di Purwakerto kelompok tersebut adalah Forum Aksi Mahasiswa Purwakerto (FAMPR). Di Bandung ada Forum Aksi Mahasiswa (FAM). Di Semarang, Solidaritas Mahasiswa untuk Reformasi Total (SMRT). Di Surabaya ada Front Pembebasan Rakyat (FPR). Di Lampung ada Dewan Tani Lampung dan Solidaritas Mahasiswa, Pemuda dan Pelajar Lampung (SMPPL). Sedangkan di Solo ada Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta (DRMS), Komite Rakyat Indonesia (KRI) dan Komite Pemuda-Mahasiswa Surakarta (KPMS).
Aksi menentang Dwi Fungsi ABRI (dan tuntutan lain yang diarahkan ke ABRI) secara lebih luas lagi dilakukan di Jakarta, tanggal 16 Sepetember lalu. Aksi tersebut merupakan aliansi dari beberapa organisasi, antara lain Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Komite Pendukung Megawati (KPM), Kepal-PRD, Kontras dan Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (KOBAR). Aksi tersebut merupakan bagian dari maraknya kembali aksi massa, terutama aksi mahasiswa, akhir-akhir ini. Aksi-aksi ini ini membawa isu baru yang lebih berkualitas, seperti : penolakan peranan ABRI di bidang sosial politik, menuntut mundur Habibie, menolak Sidang Istimewa dan menuntut pembentukan pemerintahan sementara.
Jalan menuju demokrasi sejati yang sepenuh-penuhnya semakin melebar, sebagai hasil kegigihan kaum demokrat radikal. Perlawanan rakyat bangkit di mana-mana, menguat, mengeras dan membesar. Wadah-wadah perjuangan juga berdiri di mana-mana dengan beratus-ratus nama yang berbeda. Kekuatan rakyat sudah semakin tumbuh dan melahirkan embrio pemerintahan rakyat.
Tugas selanjutnya adalah membentuk pemerintahan transisi, dengan diawali membentuk Dewan-Dewan Rakyat dari tingkat desa hingga nasional. Lembaga semacam Dewan Rakyat sudah terbentuk, seperti Komite Rakyat Indonesia (KRI) atas inisiatif Forum Kota Mahasiswa Jakarta (Forkot). Sayang baru ada di Jakarta. Sedangkan Dialog Nasional untuk Demokrasi yang dipelopori seniman Ratna Sarumpaet tanggal 15-17 Agustus lalu, juga membuahkan lembaga demokrasi yang mirip Pemerintahan Koalisi Demokratik. Di Lampung, para petani dari puluhan desa juga sudah berhasil membentuk Dewan Tani Lampung. Maraknya komite dan wadah-wadah perjuangan rakyat di daerah-daerah dan ibu kota adalah basis bagi pembentukan dewan-dewan rakyat, sehingga harus secara serius digalang. Sementara marakya partai baru juga memberi basis bagi kita untuk membangun pemerintahan koalisi, dengan berdasarkan pada pluralisme demokratik.
Pemimpin Redaksi