Bahasan Berita 8

 

AKSI-AKSI MAHASISWA MARAK KEMBALI

 

Setelah hampir dua bulan gerakan mahasiswa "tenggelam", kini bangkit lagi. Aksi-aksi mahasiswa mulai bermunculan di berbagai kota. Mampukah gerakan mahasiswa kali ini melanjutkan reformasi total yang belum tuntas ?

 

Forum Kota (Forkot), Senin (7/9/98), melakukan aksi di Gedung DPR/MPR. Mereka menuntut diturunkannya harga sembako, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan dibentuknya Komite Rakyat Indonesia (KRI) yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara. Aksi ini bertahan sampai hari Selasa jam 02.00 pagi sebelum dibubarkan tentara. Akibat bentrokan dengan tentara, 2 orang mahasiswa terkena sangkur dan puluhan lainya luka terkena pentungan.

Aksi Forkot ini kemudian diikuti aksi-aksi mahsiswa di daerah lainya. Di Jakarta sendiri ada beberapa aksi, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) melakukan aksi di silang Monas. Mereka menuntut penurunan harga sembako dan Habibie mundur.

Di daerah-daerah secara serentak aksi-aksi berlangsung pada tanggal 14 September 1998. Di Yogyakarta, Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) melakukan aksi di Bunderan UGM, dengan isu menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan mundurnya Habibie. Di Solo, aksi dipelopori oleh Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta (DRMS) dengan mendatangi markas Detasemen Polisi Militer (Denpom) IV. Mereka menuntut Polisi Militer secepatnya menuntaskan kasus-kasus yang melibatkan tentara, seperti tewasnya Gilang.

Sementara itu, aksi serupa juga berlangsung di Semarang. Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa untuk Reformasi Total (SMRT) mengadakan aksi long march menuntut agar Pemerintahan Habibie mencabut Perpu Nomor 2/1998 tentang Kebebasan Mengeluarkan Pendapat, karena esensinya sama saja dengan mengekang aktivitas politik rakyat.

Di Salatiga, masih pada tanggal 14 September 1998, dua kelompok pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di DPRD. Demonstran pertama adalah Komite Mega Kampus (KMK) diikuti sekitar 50 mahasiswa, dan demonstran kedua adalah Solidaritas Mahasiswa Pro Demokrasi (SMPD) yang diikuti sekitar 100 mahasiswa. Kedua rombongan berangkat dari tempat yang sama, yaitu kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Ada beberapa hal yang patut kita cermati dengan maraknya aksi-aksi mahasiswa kali ini.

Pertama, aksi-aksi mahasiwa kali ini (setelah jatuhnya Soeharto) mempunyai isu sentral pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Hal ini menunjukkan gerakan mahasiswa lebih maju setahap. Sangat tepat kalau mereka menggugat tentara, karena telah terbukti tentaralah sebagai penghalang utama demokrasi di Indonesia. Hal ini, sekali lagi terbukti, bahwa tentara penghalang utama demokrasi dengan jatuhnya korban ketika demonstrasi Forkot di gedung DPR/MPR.

Kedua, mahasiswa juga sadar bahwa pemerintahan Habibie tidak sah, maka mereka menuntut dibentuknya pemerintahan transisi yang demokratis. Hal ini juga sangat tepat, bahwa perubahan sistemlah yang dapat menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Maka sebelum membentuk pemerintahan yang permanen, pemerintahan transisi yang demokratis adalah "pintu pertama" yang harus dilalui.

Ketiga, gerakan mahasiswa kali sudah mulai sadar bahwa mereka tidak akan berhasil kalau meninggalkan rakyat. Maka, mereka mulai melibatkan rakyat. Mereka tidak lagi menganggap rakyat sebagai provokator.

Keempat, aksi mahasiswa Jakarta di silang Monas, untuk kemudian menuju Istana Negara mencerminkan bahwa mereka sudah lebih maju dalam hal taktik menentukaan "sasaran". Sebelumnya mahasiswa --karena terprovokasi oleh pernyataan Pangdam Jaya-- memilih aksi dalam kampus, atau aksi ke DPR. padahal DPR itu "bukan apa-apa". Kantor Menhankam, markas tentara dan tempat-tempat strategis lain, harus menjadi perhatian dari aksi-aksi mahasiswa selanjutnya. Marakya kembali aksi-aksi mahasiswa membuat militer bersikap reaksioner. Pangab Wiranto yang dipuji-puji sebagai "jenderal yang demokratis", mulai menampakkan wajah yang sesungguhnya. Dengan emosional ia menyatakan akan memukul setiap aksi mahasiswa dan aksi-aksi yang dilakukan sektor rakyat lainya. Pernyataan ini sama dengan pernyataan Faisal Tanjung (Pangab waktu itu) sebelum jatuhnya Soeharto. Apa yang dikatakan Wiranto sebetulnya menelanjangi tubuh militer sendiri, bahwa mereka tidak pernah mendukung reformasi total yang dikehendaki rakyat.

Sementara "tokoh reformasi" yang dibesarkan koran dan televisi, Amien Rais, melakukan kesalahan yang cukup besar. Amien Rais menilai aksi-aksi mahasiswa malah akan menghambat proses reformasi, ia meminta agar Habibie "diberi kesempatan". Ada dua kesalahan yang dibuat Amien Rais.

Pertama, Amien lupa bahwa aksi-aksi mahasiswalah yang mempelopori penggulingan rejim Soeharto. Kita tentunya masih ingat ketika aksi-aksi mahasiswa terus bergelombang menuntut Soeharto mundur. Kita tentunya juga masih ingat 4 mahasiswa Trisakti gugur ditembus peluru tentara, juga Mosses (Yogya) gugur dipukuli tentara. Amien lupa tanpa adanya aksi-aksi mahasiswa yang kemudian menyeret sektor-sektor rakyat lainya lah yang telah memaksa Soeharto lengser keprabon. Inilah kesalahan pertama yang dialakukan Amien Rais, tidak percaya kepada gerakan massa.

Kesalahan kedua, Amien masih percaya pada "pemerintahan" Habibie yang jelas-jelas "boneka" Soeharto. Memberi kesempatan kepada rejim Habibie berarti membiarkan Habibie konsolidasi untuk menancapkan kekuasaannya. Berarti membiarkan rakyat tetap ditindas, tetap menderita.

Aneh memang, seorang Amien Rais bisa terkecoh dengan "pemerintahan" Habibie yang betul-betul ingin melanjutkan sistem yang dibangun rejim Soeharto, padahal rakyat Indonesia sudah tahu tentang hal ini. Akibatnya apa ? Amien Rais terlambat merespon keinginan untuk membentuk pemerintahan transisi yang demokratis sebagai "ibu" yang akan melahirkan pemerintahan Indonesia yang betul-betul demokratis, dimana mayoritas mengontrol minoritas.

Agar gerakan mahasiswa berhasil melanjutkan reformasi total, maka gerakan mahasiswa harus bersatu dengan sektor rakyat lainya. Gerakan mahasiswa tidak boleh menutup diri, harus terbuka dan mau menerima kritik. Supaya ada koordinasi antara mahasiswa di bergai kota, maka pembentukan organisai mahasiswa yang independen pada tingkat nasional adalah suatu kebutuhan mendesak. Oarganisasi nasional ini yang akan melahirkan kesatuan aksi dan kesatuan tindakan mahasiswa se-Indonesia. Adanya kesatuan aksi akan menambah daya tekan terhadap penguasa.

Tidak kalah pentingnya, gerakan mahasiswa harus berperan aktif dalam pembentukan Dewan-dewan Rakyat yang natinya akan memilih wakilnya yang duduk di pemerintahan sementara, Pemerintahan Koalisi Demokratik. Hal ini penting agar gerakan mahasiswa tidak terpisah dari rakyat. Aliansi mahasiswa dan rakyat adalah yang paling ditakuti oleh penguasa manapun.***

 

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi]