Bahasan Berita 2

 

DEWAN TANI LAMPUNG MEREBUT TANAH YANG DIRAMPAS

 

Di beberapa tempat rakyat melakukan aksi ambil alih tanah. Tapi aksi mereka tidak terorganisir dan tidak terarah. Sehingga sering terjadi anarkisme. Dewan Tani Lampung mempelopori aksi pengambilalihan tanah >secara teorganisir.

Sebanyak 5.000 petani dari 13 desa dari Lampung Selatan dan Lampung Tengah melakukan aksi ambil alih tanah. Para petani ini bergabung dalam Dewan Tani Lampung. Mereka mengambil kembali tanah mereka yang sejak tahun 1974 dikuasai PT. Dharmala Hutan Lestari (DHL). Tanah tersebut tersebar di 13 desa, antara lain: Desa Suka Damai, Desa Sidoharjo, Desa Sinar Rejeki, Desa Sumber Jaya, Desa Rejo Mulyo, Desa Umbul Untung, Desa Karang Anyar (semuanya terletak di Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan), Desa Marga, Desa Metro Qibang (terletak di Kecamatan Metro Qibang ), Desa Sido Mukti, Desa Karyo Mukti (terletak di Kecamatan Sekampung), Desa Tri Sinar, Desa Tri Sinar (terletak di Kecamatan Pembantu Sukadana III). Tujuh desa terakhir termasuk kawasan Lampung Tengah.

Tuntutan aksi tersebut adalah dikembalikannya lahan mereka yang dikuasai oleh DHL di Register 37 dan 40 Gedung Wani dengan luas areal 31.000 hektar. Tanah milik warga selama ini telah berubah menjadi hutan tanaman industri.

Mereka tidak akan pergi dari lahan tersebut sampai ada keputusan dari Pemda Tingkat I Lampung mengenai status ini. Mereka juga mengutuk keterlibatan militer yang selama ini diperbudak oleh PT. DHL. Militer selalu mengintimidasi dan menakut-nakuti rakyat yang menuntut haknya.

Dalam aksi kali ini, Dewan Tani Lampung mengeluarkan 5 tuntutan :

  1. Kembalikan tanah-tanah rakyat yang telah dikuasai secara paksa oleh penguasa dan pengusaha selama 32 tahun rejim Orde Baru berkuasa,
  2. Cabut Dwi Fungsi ABRI,
  3. Cabut Paket 5 UU Politik 1985,
  4. Adakan pemilu ulang,
  5. Bentuk Pemerintahan Koalisi Demokratik.

Mereka juga menyerukan kepada petani lain untuk membentuk Dewan-dewan Tani. Dewan Tani ini sebagai alat perjuangan untuk melawan kaum pemilik modal yang mencaplok tanah rakyat dan penguasa yang otoriter.

Selama ini penguasa selalu mengambil tanah rakyat dengan cara paksa, kalaupun ada ganti rugi dengan harga yang tidak sesuai. Kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, Pandega, Cimacan, Belambuhan, Nipah, dan lain-lain merupakan contoh tindakan pengusaha yang bekerjasaman dengan alat negara dalam mengambil tanah rakyat. Militer digunakan untuk mengintimidasi rakyat. Bahkan rakyat yang melawan telah berkorban nyawa. Seperti yang terjadi di Nipah, rakyat yang menentang tanahnya digusur untuk proyek waduk dibunuh oleh tentara.

Maka, saat ini sudah tepat kalau rakyat merebut kembali tanah mereka. Pengalaman pengambilalihan tanah atau aksi merampas perkebunan yang dilakukan secara spontan justeru menghasilkan kerusakan, sehingga tidak ada manfaatnya bagi rakyat. Apa yang dilakukan Dewan Tani patut dicontoh, melakukan ambil alih secara terorganisasi.

Selain merebut kembali tanah mereka yang dirampas, di beberapa tempat rakyat mengambil alih tanah milik perusahaan keluarga Soeharto. Tanah yang diambil tersebut seharusnya tidak boleh dibaga-bagi, sehingga menjadi milik pribadi. Namun tanah tersebut harus digunakan dibawah kontrol organisasi tani untuk kepentingan seluruh tani.***

 

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi]