Bahasan Berita 1

 

MUSLIM LAMPUNG MENGGUGAT PEMBANTAIAN MILITER DI DAERAHNYA

 

Militer di Indonesia dapat dimasukkan buku rekor sebagai militer yang paling haus darah di dunia. Pada mulanya mereka menyimpan rapi borok ini, namun bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi total , borok tersebut mulai terkuak satu persatu. Kini, giliran Muslim Lampung yang menggugat pembantaian militer di sana.

Setelah ditemukan bukit tengkorak --merupakan kuburan massal korban kebiadaban militer terhadap Muslim di Aceh-- kini, Muslim di Lampung menggugat pembantaian massal yang dilakukan militer di daerah tersebut. Militer didatangkan diktator Soeharto (sebagian besar dari AD, khususnya Kopassus) pada tahun 1989.

Waktu itu di Lampung merebak perlawanan rakyat akibat ketidakadilan diktator Soeharto. Gerakan itu bernama gerakan Mujahidin, pimpinan Warsidi. Seperti biasa, gerakan perlawan rakyat ini kemudian disebut GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Sejak kedatangan militer inilah angin kematian mulai bertebaran di Lampung. Pembantain massal berlangsung sejak tahun 1989.

Bersamaan dengan tuntutan reformasi total, maka rakyat Lampung menuntut Habibie agar mengadili pimpinan-pimpinan militer dan anggota militer yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Pada tanggal 13 Agustus 1998, Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung mendatangi KOMNASHAM. Dalam pertemuan dengan KOMNAS HAM, Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung, mengungkapkan telah terjadinya penjagalan massal yang dilakukan ABRI di Lampung. Kurang lebih ada sekitar 215 orang korban jiwa. Peristiwa ini terutama terjadi di desa Tawang Sari, Way Jepara, Lampung.

Solidaritas Mahasiswa untuk Lampung juga menuntut dibebaskanya tahanan politik akibat peristiwa Lampung tersebut. "Masih banyak orang yang tidak berdosa sampai saat ini masih mendekam dalam penjara," ujar salah satu anggota delegasi. Selanjutnya, mereka juga menuntut agar tentara yang terlibat dalam peristiwa pembantaian di Lampung diadili.

Kemandirian KOMNAS HAM diuji, apakah berani menyuarakan hal ini atau tidak. Selama ini KOMNAS HAM hanya mampu memberikan rekomendasi, akan tetapi tidak pernah mampu menekan penguasa untuk menjalankan rekomendasi tersebut. Banyak pihak yang menganggap KOMNASHAM tidak ada bedanya dengan DPR/MPR, impoten. Gugatan terhadap kejahatan militer merebak di mana-mana, dari Aceh, Lampung, Jakarta, Timor Leste sampai Papua Barat. Berbagai macam kasus kejahatan militer dibeberkan di mata umum. Kasus tersebut antara lain : serangkaian pembantaian massal, penculikan, teror terhadap rakyat, pemerkosaan, pembunuhan mahasiswa, dan rekayasa kerusuhan SARA.

Peristiwa di Lampung, Aceh, Timtim, Papua, Tanjung Priok, Nipah, dan tempat lain penyebanya hanya satu: Dwi Fungsi ABRI. Selama militer berpolitik, peristiwa-peristiwa seperti di atas akan sering kita jumpai. Karena rakyat di mana-mana menghadapi masalah yang sama, maka aliansi menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menghalau militer agar kembali ke barak.

Yang tidak kalah penting, semua kelompok di Indonesia --entah apa identitas dan latar belakang politiknya-- harus juga bersama-sama mendesakkan agar Soeharto dan jajaran tentara yang membantu kejahatan itu (seperti Try Sutrisno, Benny Moerdani, Prabowo, Syarwan Hamid, Theo Syafei, dll.) diseret ke pengadilan.***

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi]